INFORMASI :

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Quisque semper tellus id quam sollicitudin, non congue enim bibendum.

LEGENDA DAN SEJARAH DESA TANJUNGSARI

LEGENDA DAN SEJARAH DESA TANJUNGSARI

LEGENDA DAN SEJARAH DESA TANJUNGSARI

Tersebutlah riwayat bahwa pada masa penjajahan jauh sebelum Negeri ini merdeka, Desa Tanjungsari merupakan kawasan hutan belantara yang teramat sangat subur, hal ini identik dengan kondisi suhu dan iklimnya yaitu beriklim tropis. Terbentang luas dari ufuk selatan sampai ufuk utara banyak ditumbuhi pepohonan dengan beraneka ragam corak dan rupa.

Bermula dari selatan, para penduduk berlomba-lomba menebang hutan/babad alas dengan giat dan gigih demi terbentuknya wilayah hunian dengan harapan daerah yang akan diduduki menjadi daerah yang cukup luas, namun faktanya berkehendak lain, ibarat pepatah “maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai”, pada saatnya akan membakar pepohonan yang sudah ditebang, mereka dikejutkan dengan kobaran api dari arah selatan mengikuti arah angin ke utara telah membakar hasil tebangan mereka, sontak penduduk merasa manda-mundu/gedanda-gedundu diujung atau disemenanjung selatan (berfikir apa yang harus dilakukan), maka wilayah tersebut dinamai Gandutanjung, dan sebagian penduduk yang lain hanya termangu-mangu sehingga dikenal dengan wilayah Karangmangu sebagai bagian dari wilayah Gandutanjung. Konon tokoh yang ikut andil dalam babad alas tersebut adalah Mbah Sukra atau yang sekarang masyhur dengan sebutan Syeikh Zuhrowardi.

Disebelah utara Gandutanjung adalah daerah yang banyak ditumbuhi pohon kayu jati/hutan jati yang sangat luas, dan didaerah tersebut juga terdapat gundukan tanah seperti gunung kecil yang dikenal pada masanya dengan sebutan Jembling dan disekitarnya banyak ditumbuhi pohon daun apit. Sehingga wilayah tersebut hingga kini dikenal dengan sebutan wilayah Pejaten diambil dari kata hutan jati, dan wilayah Dampit diambil dari kata daun apit. Dikarenakan wilayah hutan jati lebih luas dari area pohon apit, maka wilayah Dampit menjadi bagian dari wilayah Pejaten.

Menuju ke belahan wilayah bagian utara, disana banyak terjadi penduduknya yang sedang berebut wilayah kekuasaan babad alas hutan yang sudah ditebangi, mereka saling ber-adu kekuatan, ber-adu mulut/cekcok, ber-adu pendapat atau argument, istilah dalam bahasa Jawa padudon (apa-apa udu, kudu). Karena kegaduhan dan keributan yang tak kunjung selesai datanglah Mbah Nasrulloh dengan membawa misi perdamaian untuk melerai percekcokan dan mengambil jalan tengah yang terbaik demi kemaslahatan bersama. Dengan dasar tersebut maka wilayahnya dikenal dengan sebutan Kepadon berasal dari kata padudon, dan tokoh misionernya dikenal dengan sebutan Ki Reksopadu karena sudah ngrekso/menjaga dari padu/cekcok. Riwayat lain mengungkapkan, disebut Kepadon karena letak lokasinya yang berada di pojok desa atau padonan.

Lain halnya dengan wilayah Mentasari, dikisahkan pada awal abad 19 masehi ada seseorang yang bernama Raden Ketasari sengaja datang ke suatu wilayah  untuk mengabdikan diri diwilayah tersebut. Setelah babad alas dan persiapan lahan telah usai yang kemudian wilayah tersebut dihuni dan didiami oleh banyak orang maka wilayah tersebut selanjutnya diberi nama Mentasari. Kehidupan social kemasyarakatan di wilayah Mentasari berlalu cukup lama hingga pada akhirnya diketahui khalayak bahwa Raden Kertasari adalan seorang utusan dari Kraton Ngayogyokarto. Namun tidak lama kemudian Raden Kertasari wafat. Pasca meninggalnya Raden Kertasari kehidupan di Mentosari mengalami gejolak perebutan  kekuasaan/kepemimpinan. Peristiwa tersebut terdengar oleh Kraton Ngayogyokarto hingga pada akhirnya dikirimlah seorang utusan dengan membawa surat ditujukan kepada sesepuh yang berada di Mentasari.

Tersebutlah nama Dipadrana dan Wangsadikrama. Surat diterima oleh Dipadrana dengan isi suratnya adalah undangan untuk sowan ke Kraton Ngayogyokarto. Namun karena Dipadrana sedang mbayi (mempunyai bayi baru lahir), sehingga Wangsadikrama yang berangkat ke Kraton. Sekembalinya dari Ngayogyokarto Wangsadikrama menerima mandate/perintah dari sang ratu untuk menjadi lurah di wilayah Mentasari. Mengetahui hal itu Dipadrana merasa tidak terima, dan pada akhirnya Dipadrana sowan secara pribadi ke Kraton Ngayogyokarto untuk mengambil alih jabatan lurah dari Wangsadikrama. Menyikapi hal tersebut sang ratu mengambil jalan tengah supaya tidak ada pertikaian dan perebutan kekuasaan, dan dibagilah Mentosari menjadi 2 wilayah, dengan berbatasan jalan desa maka sebelah utara adalah wilayah Mentosari dengan lurah Wangsadikrama, dan bagian selatan adalah wilayah Pengempon dengan lurah Dipadrana.

Seiring bergulirnya waktu Mentasari dan Pengempon diblengket/digabung lagi menjadi satu wilayah yaitu Mentosari, dan wilayah Pengempon menjadi bagian dari Mentasari.

Berdasarkan riwayat sebagaimana tersebut di atas, bahwa Desa Tanjungsari merupakan gabungan dari 4 wilayah/desa yaitu Gandutanjung, Pejaten, Kepadon dan Mentasari. Pada zaman penjajahan Belanda tepatnya tanggal 1 Januari tahun 1925 dibentuklah sebuah Desa dengan nama Tanjungsari yang berasal dari kata Tanjung mengambil dari kata Gandutanjung, sedangkan Sari mengambil dari kata Mentasari. Sehingga Desa Tanjungsari membentang luas dari wilayah Gandutanjung sampai dengan wilayah Mentasari. Karena luasnya, Desa Tanjungsari mendapat predikat desa terluas nomor 3 di wilayah Kecamatan Petanahan.

 

Kepala Desa yang pernah menjabat di Desa Tanjungsari yaitu :

1.     Nur Yamamad ( 1925 – 1928 )

2.     Dulah Mukri ( 1928 – 1945 )

3.     San Kartama ( 1945 – 1985 )

4.     Penjabat Kades, Ahmad Sodali, Sekdes ( 1985 – 1986 )

5.     Muharrir ( 1986 – 1994 )

6.     Penjabat Kades, Sumarso Kaur Bangdes Kec. Petanahan ( 1994 )

7.     Mithohar ( 19942002 )

8.     Darmin Edy Siswanto ( 2002 – 2007 )

9.     Teguh  Imam Dwi Atmoko, S.H ( 2007 – 2013 )

10. Penjabat Kades, Abdul Syukur, Pemb.Kaur Kesra ( 2013 )

11. Teguh Imam Dwi Atmoko, S.H ( 2013 – 2019 )

12. Chaerudin ( 2019 – sekarang )

 

 

 

Bagikan :

Tambahkan Komentar Ke Twitter